Pages

Tampilkan postingan dengan label Stambul Dardanella. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Stambul Dardanella. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Januari 2016

Stambul Dardanella Bermula di Kalisat

Minggu, 17 Januari 2016
Sabtu sore yang cerah di Kedai Doeloe Kalisat, 16 Januari 2016. Sesuai rencana, sore ini kami mengadakan diskusi kecil bersama Bapak Effendi. Ia adalah seorang penulis, pencipta lagu, pelukis, dan kini menikmati masa tuanya di Kampung Baru, Kalisat.

"Saya lahir di Sumenep pada 80 tahun yang lalu. Baru pindah ke Kalisat ketika saya berusia enam tahun. Itu terjadi pada tahun 1942, masa dimana Jepang mulai menggantikan posisi Belanda," ujar lelaki perokok dji sam soe ini.

Stambul Dardanella

"Di masa yang lalu, hingga era 1940an, hiduplah sebuah kelompok Opera Melayu bernama Dardanella. Ia begitu masyur. Namanya dikenal hingga ke Mancanegara. Oleh orang luar, grup sandiwara ini kerap dijuluki The Malay Opera Dardanella. Sedangkan nama dardanella, diambil dari nama sebuah selat di Turki." Effendi memulai kisahnya tentang Dardanella.

Berikut adalah gambaran dari Media Kompas mengenai Stambul Dardanella.


Ia adalah sebuah grup seni yang berjasa besar dalam mengenalkan kebudayaan Melayu dan Indonesia. Melalui seni peran, tari, musik serta banyak cabang seni lain --yang terlibat dalam Opera-- ia telah mengenalkan budaya Indonesia ke depan etalase negara, bahkan sebelum nama Indonesia itu dikumandangkan sebagai nama sebuah negara.


Di komunitas ini, bahasa Melayu mendapat tempat yang tinggi. Ia tak sekedar digunakan sebagai pengantar gagasan saja, melainkan juga sudah menjadi bentuk ucapan praktis untuk menyatakan visi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dardanella tak bosan mengkampanyekan penggunaan bahasa Melayu kepada para penontonnya.


Dalam setiap pementasannya, Dardanella tak pernah lepas dari motto, "Memberi tontonan yang memuaskan publik."

Sore itu Bapak Effendi banyak berkisah tentang Kalisat, dari hasil penelusurannya di masa muda, ketika masih aktif menjadi jurnalis. Darinya kami mengerti jika benih-benih keberadaan Stamboel Dardanella --yang kelak mendunia-- telah dimulai di Kalisat sejak 1917, jauh sebelum banyak catatan yang menyebutkan jika Dardanella resmi berdiri di Sidoarjo pada 1926.

"Lha si pendiri Dardanella, orang Rusia itu, si Piedro, yang punya nama asli Willy Klimanov, dulu dia kan mengawali pekerjaannya di sebuah perkebunan di Kalisat. Nah, opera Dardanella kan punya artis panggung bernama Idjah --Devi Djah, dulu kakeknya kerja di perkebunan karet di Jember. Waktu itu Idjah masih kecil."

Tentang Devi Dja, Primadona dari Stambul Dardanella

Idjah yang dimaksud Bapak Effendi adalah Soetidjah, perempuan kelahiran Sentul pada 1 Agustus 1914. Sebenarnya ia terlahir dengan nama Misria. Karena dulu sering sakit-sakitan, maka sesuai adat saat itu, atas saran seorang dukun namanya diganti menjadi Soetidjah. Idjah lahir dari pasangan Adiredjo dan Sriami. Ayahnya --Pak Adi-- yang juga aktif di dunia opera panggung, ia tinggal di Jember. Setidaknya itu menurut catatan Majalah Tempo Edisi 21 Agustus 1982.


Devi Dja ketika berlatih koreografi tari Bali, 1945. Dokumentasi dari twitter @tcm

Kelak Soetidjah lebih dikenal dengan nama Dewi Dja, atau Devi Dja, atau Ibu Devi Dja Assan. Perempuan Indonesia pertama yang berhasil menembus gemerlap Hollywood ini meninggal dunia pada 19 Januari 1989.

Soetidjah semenjak kecil sudah larut dalam kesenangan seni. Sembari memegangi kebaya neneknya, Sriatun, Soetidjah suka menguntit perjalanan kakeknya untuk mengamen. Kakeknya bernama Satiran. Dia adalah pemain gendang keliling. Kemiskinan yang mendera keluarga ini menjadi alasan mereka sering mengamen. Dia pernah menjadi mandor perkebunan karet atau onderneming di daerah Jember, Jawa Timur. Namun dia keluar karena memaki atasannya pada saat disuruh menjilati kotoran ayam yang terinjak oleh si Belanda. Sewaktu pulang dari kejadian itu, Satiran mengeluh kepada Sriatun dan Soetidjah yang waktu itu masih kecil. "Aku disuruh menjilat kakinya, karena ada kotoran ayam yang terinjak olehnya di tangga rumahnya. Ia memaki-maki aku seperti anjing edan. Dasar...!" (Ramadhan KH, 1982:17).

Setelah itu Satiran menyambung hidupnya dengan mengamen. Ia ajak serta istri dan cucunya yang masih kecil, Idjah.

Dalam masa mengamen keliling ini Idjah kecil secara simultan menguasai berbagai jenis tari maupun tembang yang mengiringi. Suatu waktu keadaan ekonomi keluarga ini membaik. Atas bantuan seorang Arab bernama M. Buchori dan keluarga Belanda bernama Meneer Heins, Satiran akhirnya membentuk stambul bernama 'Stamboel Pak Adi.' Ia menggunakan nama anaknya.

Peruntungan rombongan stambul ini ternyata lumayan bagus. Kolaborasi nyanyian lagu Belanda yang dibawakan oleh keluarga Meneer Heins dan nyanyian Dewi Dja kecil mampu menyedot perhatian tidak hanya warga pribumi, melainkan juga orang-orang Belanda. Stambul ini telah dikenal luas di beberapa kota seperti Situbondo, Jember, Banyuwangi, Pasuruan bahkan Surabaya.

Saat kelompok Stambul Pak Adi tampil di Rogojampi, Banyuwangi, kelompok Stambul Dardanella juga manggung di daerah yang sama. Di titik inilah mula perkenalan antara Piedro dari Dardanella, dengan kelompok Stambul Pak Adi. Diam-diam Piedro memperhatikan penampilan Dewi Dja remaja (14 tahun) saat menyanyikan lagu Kopi Soesoe bersama kelompoknya.

Kiranya Piedro jatuh cinta terhadap Dewi Dja, bukan hanya semata-mata karena bakatnya saja. Beberapa waktu setelahnya, Piedro dengan bantuan camat Rogojampi melamar Dewi Dja untuk diperistri.

Singkat cerita, mereka menikah secara Katolik, meskipun kelak sepanjang hayatnya Dewi Dja tetap mengaku Islam. Nama babtis Dewi Dja adalah Erneste yang kemudian disingkat menjadi Erni. Pernikahan membuat Dewi Dja praktis bergabung dengan Dardanella.

Tiga tahun kemudian, Dardanella pertama kali main ke luar negeri. Tur pementasan ini dinamai Piedro dengan Tour d'Orient. Dimulai dari Singapura, Opera Melayu ini melanglang buana ke negara-negara di lima benua. Dewi Dja tentu menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari Dardanella. Jumlah personil yang ikut ke Singapura mencapai 150 orang, jumlah yang fantastis untuk sebuah kelompok seni pertunjukan baik masa lalu maupun kini.

Selengkapnya bisa dibaca di sini.

Tentang Ratna Assan, putri Dewi Dja


Ratna Assan, putri Devi Dja. Foto dari Amazon

Putri Dewi Dja yang bernama Ratna Assan juga bermain di filem Hollywood dan menjadi orang Indonesia pertama yang tampil di majalah Playboy Edisi Februari 1974. Film yang dibintanginya berjudul Papillon, tahun 1973. Papillon dibintangi oleh pemeran utama Steve McQueen, pemain tenar saat itu. Sedangkan Ratna Assan, ia berperan sebagai gadis Indian bernama Zoraima, dan dalam film itu ia berperan sebagai pacar Steve Mc Queen.

Kembali ke Dewi Dja

Ia menikah di usia 14 tahun, ketika di tahun yang sama di negeri ini sedang berlangsung Sumpah Pemuda. Garis kisah singkatnya bisa dilihat dalam foto di bawah ini.


Sumber dari situs jual beli bukalapak

Tahun 1959, Dewi Dja kembali ke tanah air, setelah sekian lama melanglang buana. Ia diterima oleh Presiden Soekarno di istana. Keluarga 'Dardanella' memanggungkan kembali cerita 'Dr. samsi' di bawah pimpinan Andjar Asmara. Berikut foto ketika Dewi Dja berjumpa dengan Presiden Soekarno. Saat itu Dewi Dja telah berusia 45 tahun.


Dari buku: Gelombang Hidupku, Biografi Dewi Dja dari Dardanella - Wanita Jawa yang Mencapai Hollywood


Kini jika kembali mengingat kisah yang dituturkan oleh Bapak Effendi kemarin sore, saya jadi mengerti bahwa kota-kota kecil seperti Kalisat dan Jember di masa yang lalu memiliki corak kesenian yang sungguh menarik.

"Lha si pendiri Dardanella, orang Rusia itu, si Piedro, yang punya nama asli Willy Klimanov, dulu dia kan mengawali pekerjaannya di sebuah perkebunan di Kalisat. Nah, opera Dardanella kan punya artis panggung bernama Idjah --Devi Djah, dulu kakeknya kerja di perkebunan karet di Jember. Waktu itu Idjah masih kecil."

Terima kasih Bapak Effendi, telah meluangkan waktu untuk berbagi kisah dengan kami di Kedai Doeloe, di hari pertama Pameran Foto Kalisat Tempo Dulu. Mulanya kami tak tahu apa itu Stambul Dardanella, dan siapakah Dewi Dja.

Kisah Lain dari Bapak Effendi

Kisah lain yang tentu saja membuat kami sangat ingin mengetahui kebenarannya adalah ketika Presiden Soekarno sedang melakukan perjalanan hendak ke Bali. Ia memanfaatkan moda transportasi kereta api. Lalu sesampainya di stasiun kalisat ia dipaksa turun oleh muda-mudi Kalisat. Semua itu hanya agar Presiden berkenan memberikan orasi tentang semangat kebangsaan. Mereka berhasil. Presiden Soekarno pun memenuhi keinginan para muda Kalisat. Ia turun dari kereta api dan memberikan apa yang mereka minta. Itu terjadi pada 1952.

Dimana kami harus melakukan verifikasi agar benar-benar tahu bahwa kisah itu benar?

Sekali lagi, terima kasih.
Kedai Doeloe Kalisat © 2014